Hai! Saya Alda Wiyekedella :)
Jadi saya ingin bercerita sedikit tentang pengalaman saat mengunjungi Klenteng (Bahasa Hokkian) yang merupakan tempat ibadah untuk penganut
kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia.
Lebih umumnya lagi yaitu
penganut agama Buddha atau Konghucu.
Di beberapa daerah Klenteng disebut dengan
“Tokong”yang diambil dari bunyi lonceng saat penyelenggaraan upacara.
Sebelumnya, saya tidak pernah mengunjungi Klenteng sama
sekali, pernah sih sekali lewat dan foto saat di Kenjeran. Namun hanya sebatas
foto sekali “cekrik” saja tanpa tahu tempat apakah itu. Nah sekarang saya
berkesempatan untuk mengunjungi Klenteng tertua di Surabaya!
Klenteng tersebut adalah Klenteng “Hong Tiek Hian” yang
berlokasi di Jalan Dukuh No.23, Nyamplungan kota Surabaya. Klenteng ini dibangun
oleh pasukan Tartar pada zaman Khu Bilai Khan pada awal kerajaan Mojopahit
sekitsr abad ke-13. Klenteng ini sudah berusia lebih dari tujuh abad, lho. Wah
tua sekali ya.. Klenteng ini seriing digunakan untuk sembahyang dan
penyelenggaraan acara-acara s eperti acara tahun baru Tionghua atau sering yang
sering kita dengar yaitu perayaan imlek.
Dari observasi yang saya lakukan pada tanggal 28 November
2017 kemarin, Klenteng ini erletak di sebuah Gang. Saya melihat ada 2 bangunan
utama. Saat pertama masuk sudah Nampak tulisan berbahasa Cina dan gapura
bergaya Tiongkok, juga terdapat altar pemujaan yang berornamen khas Cina.
Siang itu begitu terik, namun saat saya memasuki
Klenteng,ada beberapa orang yang sedang berdoa dan bahkan menunggu giliran
untuk beribadah atau bersembahyang dengan serius diiringi oleh bau hio.
Kondisi dari Klenteng Hong Tiek Han masih sangat bagus,
layak, bersih dan terawatt. Nampak masih banyak penjaga yang aktif mengawasi
Klenteng ini. Bangunan dan isi yang sangat indah diringi oleh lilin-lilin merah
yang dianggap merupakan symbol keseimbangan membuat suasana di Klenteng ini
makin indah dan membuat saya sangat ingin mengabadikan moment tersebut. Namun..
Saya ceritakan pengalaman pribadi saya ya.. Jadi pada saat
saya ingin mengabadikan momen disana tiba-tiba ada perempuan separuh baya yang
terlihat memiliki keturunan Tionghua menghampiri saya saat saya sedang mencari spot foto yang bagus. Saya tidak sempat
menanyakan siapa ibu-ibu tersebut, mungkin bisa jadi adalah penjaga ataupun
pengunjung.
Beliau langsung mencegah saya dan berkata bahwa saya tidak
boleh mengambil foto apapun didekat Altar makco, kongco, Dewi Kwan Im, Buddha
dan dewa-dewi lainya karena jika menurut keyakinan Ibu itu akan terjadi sesautu
yang tidak diinginkan seperti kesialan.. Seperti turun jabatan, perubahan fisik,
terkena penyakit.. Lalu dia mennunjuk laki-laki yang sedang duduk disekitar sana dan berkata “ini
contohnya dia baru kehilangan jabatanya di luar kota, tanyakan saja padanya..
Apa mau ditunjukan bukti dia dulu foto disini? Itu loh tunjukan” Lalu lelaki
tersebut hanya tersenyum dan bilang “Tidak usah..”
Ibu separuh baya tersebut menambahkan “Yasudah kalau memang
mau foto-foto tapi saya tidak tanggung akibatnya.. Cari saja Klenteng lain yang
memperbolehkan untuk diambil fotonya”
Saya pun lantas merasa sungkan karena pada saat saya
mengunjungi Klenteng tersebut tidak ada yang mengeluarkan kamera digital atau
kamera HP sekalipun. Akhirnya saya ke tempat lain disebelah kiri ada orang yang
menyediakan alat-alat pemujaan atau sembahyang memperbolehkan saya foto ala
kadarnya. Hingga akhirnya inilah hasil potretnya…
Tolong maafkan muka saya yang nampak seperti bocah ilang ya.. Haha
Jadi.. Kelebihan dari klenteng ini adalah...
Meskipun Klenteng ini
adalah klenteng tertua di Surabaya dan sudah berumur ratusan tahun, kondisi
bangunan dan seisinya tidak terlihat using dan kotor, malah menurut saya
kondisinya masih sangat bersih, terawatt, dan layak hinggga tak heran banyak
orang yang memilih untuk melakukan pemujaan dan mamanjatkan pengharapan mereka
disini.
Selain itu masih banyak penjaga yang ramah dan menyediakan
berbagai alat atau kebutuhan pemujaan bagi penganut Agama Buddha atau Konghucu yang
ingin bersembahyang disini.
Sedangkan kekuranganya sendiri mungkin menurut saya yaitu
cara penjaga (Ibu separuh baya) yang memberi larangan untuk mengabadikan momen,
mungkin dapat membuat pengunjung merasa sedikit takut dan tidak nyaman.
Saya tidak tahu apakah hal tersebut fakta atau mitos. Namun
alangkah baiknya bahwa menurut keyakinan mereka ada larangan seperti itu, bisa
diberi peraturan terlebih dahulu didepan saat pengunjung akan masuk, seperti
“DILARANG MENGAMBIL FOTO”.
Karena dengan seperti itu akan jelas peraturanya, karena
pengunjung yang baru pertama dating seperti saya bisa saja bingung karena
tiba-tiba dilarang dan “diusir” dengan halus dengan embel-embel terkena sial.
Padahal sebelumnya teman-teman saya yang melakukan observasi juga mengambil
foto yang sangat banyak. Ada beberapa penjaga yang membolehkan dan ada yang
tidak, itu membuat saya bingung dan merasa sungkan. Hanya saran kecil dari
orang kecil seperti saya.. Selebihnya Klenteng Hong Tiek Han sudah luar biasa
bagusnya.
Nah, tidak cukup sampai disitu!
Tak jauh dari sana saya melihat ada sebuah klenteng
yang lainya yang menarik dan seakan memanggil saya untuk datang. Klenteng ini hanya berjarak sekitar kurang lebih 2 kilo dari
klenteng Hong tiek Han.
Klenteng tersebut adalah Klenteng Boen Bio. “Boen” berarti
Budaya dan “Bio” berarti tempat ibadah. Yang berlokasi di Jalan Kapasan No.131
Surabaya. Klenteng ini berada di pinggir jalan raya yang sangat padat.. dulunya
Klenteng ini berlokasi di sebuah kampong hingga akhirnya Kang You Wei (reformis
Tiongkok) mengusulkan untuk memindahkan Klenteng ini ke pinggir jalan. Bangunanya
masih bagus, seperti klenteng – klenteng lainya yang bernuansa merah dan emas
namun memiliki sejarah yang berbeda.
Klenteng ini dibangun pada tahun 1883.
Dulu sebelum namanya
menjadi Boen Bio, Klenteng ini bernama Klenteng Boen Thjiang lho. Jadi saya
beri sejarah singkat tentang Klenteng ini ya..
Karena sejarah dari Klenteng
Boen Bio lumayan menarik.
Klenteng ini dulu dibangun sebagai simbol antara
pedagang keturunan Tionhoa terhadap penjajah Belanda. Jadi dulu sempat ada pertetengan atau konflik
monopoli ekonomi. Biaya pembangunanya pun juga didapatkan dari sumbangan uang
denda yang diperoleh dari kemenangan perkara dari HVA (Handels Vereeninging
Amsterdam) dan sumbangan para dermawan yang hingga kini nama-namanya masih
tertulis di prasasti di Klenteng Boen Bio. Klenteng yang memiliki luas 1000
meter persegi ini masih ramai didatangi pengunjung sampai saat ini. Kemarin saat
saya mengunjunginya saja sudah ada beberapa bapak-bapak yang mengantri untuk
sembahyang di Klenteng Boen Bio yang pada saat itu mengajak saya untuk turut
serta (padahal saya muslim dan hanya ingin melakukan observasi) hehehe.
Bangunanya dari luar tampak sederhana, namun saat mulai
memasuki klentengnya, terlihat sangat indah apalagi disambut dengan sambutan
empat pilar naga (yang dipercayai adalah penolak roh jahat dan merupakan symbol
keseimbangan) dan kata cina, yang menggerakan hati saya untuk mengabadikan
momen tersebut
Saya hanya mengambil gambar ini (karena masih parno dengan
yang terjadi di Klenteng Hong Tiek Han, saya takut apabila saya mengambil
banyak foto maka akan membuat pihak lain merasa kurang nyaman).
Saya memerhatikan juga ada pilar singa.
Di sebelah kiri ada
Singa jantan dan di kana nada singa betina dengan anaknya. Patung singa yang
saya tahu adalah patung singa Ciok Say
Dan ada hal unik yang tidak saya sangka, yaitu ada bingkai foto mantan Presidenke-4
Indonesia, Gusdur yang terpampang di sebelah kanan ruang utama. Saya awalnya
bingung, “loh kok bisa ada foto Gusdur? Fotonya juga menggunakan peci, Gusdur
pun seorang Muslim”. Saya berpikir begitu..
Ternyata, Gusdur pernah menghilangkan undang-undang pada
masa orde baru yaitu larangan penyelenggaraan segala kegiatan bagi adat
istiadat kaum Tionhoa di Indonesia.
Luar biasa ya..
Gusdur merupakan pelopor rasa toleransi Indonesia. Beliau menerapkan
sila – sila pancasila dalam kehidupan nyata, ia sama sekali tidak membatasi
orang berdasarkan rasa tau kepercayaanya, ia malah memberikan hak bagi mereka
untuk memeluk kepercayaanya (agama yang diakui di Indonesia). Ia membela mereka
meskipun ia adalah seorang muslim. Sejak saat itulah Hari Raya imlek (tahun
baru Cina) bisa dirayakan dan di resmi diliburkan hingga sekarang. Wah, salut
ya sama Gus Dur, tak heran jasanya selalu dikenang dan diberi penghargaan
sedemikian rupa hingga fotonya ada di ruang utama Klenteng Boen Bio. #PROUD.
Kekurangan dari Klenteng Boen Bio adalah tidak adanya lahan parkir
yang tersedia sama sekali yang membuat kondisi jalan raya di sekitar sana
semakin ramai, kemarin saja saat saya kesana yang bukan hari libur, cukup ramai
pengunjung.. Apalagi kalau di hari libur atau ada perayaan khusus, pasti akan lebih
berpengaruh ke jalan raya dan pengunjung akan sangat susah memarkirkan
kendaraanya bagi yang membawa. Kemarin saya mencari parkir butuh waktu sekitar
15 menit hehehe coba bayangkan jika Klenteng tersebut sedang ramai – ramainya,
butuh berapa lama untuk mencari parkir?
Selain itu saat saya mengunjungi Klenteng tersebut, awalnya
kondisinya seperti Klenteng yang tutup. Saya sampai harus bertanya-tanya kepada
warga sekitar apakah Klenteng ini buka atau tutup. Ada pengunjung lain yang
bingung dan mencoba menghubungi (menelpon) orang Klenteng yg ia kenal dan
memastikan apakah Klenteng ini buka atau tidak.
Jadi kami harus menunggu sekitar 15 menit didepan gerbang
Klenteng tersebut.
Selebihnya, Klenteng Konghucu yang bersejarah ini sangat
luar biasa.
Saya sangat suka design dan suasananya dan makna-makna yang di miliki Klenteng ini beserta isinya.
Kesan saya setelah melakukan observasi ini sungguh luar
biasa tentunya.. Sebelumnya saya tidak pernah ke klenteng sama sekali, kalau
pernah pun mungkin hanya sebatas lewat. Jujur dulu saya tidak ada rasa
keingintahuan sama sekali, namun dengan observasi ini saya jadi tahu banyak
hal. Contohnya bagaimana warga keturunan Tionghua “survive” untuk mempertahankan agama dan kepercayaan mereka di
Indonesia, yang menambah rasa toleransi saya dan membuat saya lebih menghargai
perbedaan. Karena saya, anda, kita adalah INDONESIA :)