Senin, 04 Desember 2017

Artikel Klenteng Hong Tiek Han & Boen Bio


Hai! Saya Alda Wiyekedella :) 
Jadi saya ingin bercerita sedikit tentang pengalaman saat mengunjungi Klenteng (Bahasa Hokkian) yang merupakan tempat ibadah untuk penganut kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia.
Lebih umumnya lagi yaitu penganut agama Buddha atau Konghucu. 
Di beberapa daerah Klenteng disebut dengan “Tokong”yang diambil dari bunyi lonceng saat penyelenggaraan upacara.

Sebelumnya, saya tidak pernah mengunjungi Klenteng sama sekali, pernah sih sekali lewat dan foto saat di Kenjeran. Namun hanya sebatas foto sekali “cekrik” saja tanpa tahu tempat apakah itu. Nah sekarang saya berkesempatan untuk mengunjungi Klenteng tertua di Surabaya!

Klenteng tersebut adalah Klenteng “Hong Tiek Hian” yang berlokasi di Jalan Dukuh No.23, Nyamplungan kota Surabaya. Klenteng ini dibangun oleh pasukan Tartar pada zaman Khu Bilai Khan pada awal kerajaan Mojopahit sekitsr abad ke-13. Klenteng ini sudah berusia lebih dari tujuh abad, lho. Wah tua sekali ya.. Klenteng ini seriing digunakan untuk sembahyang dan penyelenggaraan acara-acara s eperti acara tahun baru Tionghua atau sering yang sering kita dengar yaitu perayaan imlek.

Dari observasi yang saya lakukan pada tanggal 28 November 2017 kemarin, Klenteng ini erletak di sebuah Gang. Saya melihat ada 2 bangunan utama. Saat pertama masuk sudah Nampak tulisan berbahasa Cina dan gapura bergaya Tiongkok, juga terdapat altar pemujaan yang berornamen khas Cina.

Siang itu begitu terik, namun saat saya memasuki Klenteng,ada beberapa orang yang sedang berdoa dan bahkan menunggu giliran untuk beribadah atau bersembahyang dengan serius diiringi oleh bau hio. 

Kondisi dari Klenteng Hong Tiek Han masih sangat bagus, layak, bersih dan terawatt. Nampak masih banyak penjaga yang aktif mengawasi Klenteng ini. Bangunan dan isi yang sangat indah diringi oleh lilin-lilin merah yang dianggap merupakan symbol keseimbangan membuat suasana di Klenteng ini makin indah dan membuat saya sangat ingin mengabadikan moment tersebut. Namun..
Saya ceritakan pengalaman pribadi saya ya.. Jadi pada saat saya ingin mengabadikan momen disana tiba-tiba ada perempuan separuh baya yang terlihat memiliki keturunan Tionghua menghampiri saya saat saya sedang mencari spot foto yang bagus. Saya tidak sempat menanyakan siapa ibu-ibu tersebut, mungkin bisa jadi adalah penjaga ataupun pengunjung.
Beliau langsung mencegah saya dan berkata bahwa saya tidak boleh mengambil foto apapun didekat Altar makco, kongco, Dewi Kwan Im, Buddha dan dewa-dewi lainya karena jika menurut keyakinan Ibu itu akan terjadi sesautu yang tidak diinginkan seperti kesialan.. Seperti turun jabatan, perubahan fisik, terkena penyakit.. Lalu dia mennunjuk laki-laki yang sedang  duduk disekitar sana dan berkata “ini contohnya dia baru kehilangan jabatanya di luar kota, tanyakan saja padanya.. Apa mau ditunjukan bukti dia dulu foto disini? Itu loh tunjukan” Lalu lelaki tersebut hanya tersenyum dan bilang “Tidak usah..”
Ibu separuh baya tersebut menambahkan “Yasudah kalau memang mau foto-foto tapi saya tidak tanggung akibatnya.. Cari saja Klenteng lain yang memperbolehkan untuk diambil fotonya”
Saya pun lantas merasa sungkan karena pada saat saya mengunjungi Klenteng tersebut tidak ada yang mengeluarkan kamera digital atau kamera HP sekalipun. Akhirnya saya ke tempat lain disebelah kiri ada orang yang menyediakan alat-alat pemujaan atau sembahyang memperbolehkan saya foto ala kadarnya. Hingga akhirnya inilah hasil potretnya…




Tolong maafkan muka saya yang nampak seperti bocah ilang ya.. Haha
 
Jadi.. Kelebihan dari klenteng ini adalah...
Meskipun Klenteng ini adalah klenteng tertua di Surabaya dan sudah berumur ratusan tahun, kondisi bangunan dan seisinya tidak terlihat using dan kotor, malah menurut saya kondisinya masih sangat bersih, terawatt, dan layak hinggga tak heran banyak orang yang memilih untuk melakukan pemujaan dan mamanjatkan pengharapan mereka disini. 

Selain itu masih banyak penjaga yang ramah dan menyediakan berbagai alat atau kebutuhan pemujaan bagi penganut Agama Buddha atau Konghucu yang ingin bersembahyang disini.
Sedangkan kekuranganya sendiri mungkin menurut saya yaitu cara penjaga (Ibu separuh baya) yang memberi larangan untuk mengabadikan momen, mungkin dapat membuat pengunjung merasa sedikit takut dan tidak nyaman.
Saya tidak tahu apakah hal tersebut fakta atau mitos. Namun alangkah baiknya bahwa menurut keyakinan mereka ada larangan seperti itu, bisa diberi peraturan terlebih dahulu didepan saat pengunjung akan masuk, seperti “DILARANG MENGAMBIL FOTO”.
Karena dengan seperti itu akan jelas peraturanya, karena pengunjung yang baru pertama dating seperti saya bisa saja bingung karena tiba-tiba dilarang dan “diusir” dengan halus dengan embel-embel terkena sial. Padahal sebelumnya teman-teman saya yang melakukan observasi juga mengambil foto yang sangat banyak. Ada beberapa penjaga yang membolehkan dan ada yang tidak, itu membuat saya bingung dan merasa sungkan. Hanya saran kecil dari orang kecil seperti saya.. Selebihnya Klenteng Hong Tiek Han sudah luar biasa bagusnya.

 Nah, tidak cukup sampai disitu!
Tak jauh dari sana saya melihat ada sebuah klenteng yang lainya yang menarik dan seakan memanggil saya untuk datang. Klenteng ini hanya berjarak sekitar kurang lebih 2 kilo dari klenteng Hong tiek Han.
Klenteng tersebut adalah Klenteng Boen Bio. “Boen” berarti Budaya dan “Bio” berarti tempat ibadah. Yang berlokasi di Jalan Kapasan No.131 Surabaya. Klenteng ini berada di pinggir jalan raya yang sangat padat.. dulunya Klenteng ini berlokasi di sebuah kampong hingga akhirnya Kang You Wei (reformis Tiongkok) mengusulkan untuk memindahkan Klenteng ini ke pinggir jalan. Bangunanya masih bagus, seperti klenteng – klenteng lainya yang bernuansa merah dan emas namun memiliki sejarah yang berbeda.
Klenteng ini dibangun pada tahun 1883. 
Dulu sebelum namanya menjadi Boen Bio, Klenteng ini bernama Klenteng Boen Thjiang lho. Jadi saya beri sejarah singkat tentang Klenteng ini ya.. 
Karena sejarah dari Klenteng Boen Bio lumayan menarik.
Klenteng ini dulu dibangun sebagai simbol antara pedagang keturunan Tionhoa terhadap penjajah Belanda.  Jadi dulu sempat ada pertetengan atau konflik monopoli ekonomi. Biaya pembangunanya pun juga didapatkan dari sumbangan uang denda yang diperoleh dari kemenangan perkara dari HVA (Handels Vereeninging Amsterdam) dan sumbangan para dermawan yang hingga kini nama-namanya masih tertulis di prasasti di Klenteng Boen Bio. Klenteng yang memiliki luas 1000 meter persegi ini masih ramai didatangi pengunjung sampai saat ini. Kemarin saat saya mengunjunginya saja sudah ada beberapa bapak-bapak yang mengantri untuk sembahyang di Klenteng Boen Bio yang pada saat itu mengajak saya untuk turut serta (padahal saya muslim dan hanya ingin melakukan observasi) hehehe.
Bangunanya dari luar tampak sederhana, namun saat mulai memasuki klentengnya, terlihat sangat indah apalagi disambut dengan sambutan empat pilar naga (yang dipercayai adalah penolak roh jahat dan merupakan symbol keseimbangan) dan kata cina, yang menggerakan hati saya untuk mengabadikan momen tersebut



Saya hanya mengambil gambar ini (karena masih parno dengan yang terjadi di Klenteng Hong Tiek Han, saya takut apabila saya mengambil banyak foto maka akan membuat pihak lain merasa kurang nyaman).
Saya memerhatikan juga ada pilar singa. 
Di sebelah kiri ada Singa jantan dan di kana nada singa betina dengan anaknya. Patung singa yang saya tahu adalah patung singa Ciok Say

Dan ada hal unik yang tidak saya sangka, yaitu ada bingkai foto mantan Presidenke-4 Indonesia, Gusdur yang terpampang di sebelah kanan ruang utama. Saya awalnya bingung, “loh kok bisa ada foto Gusdur? Fotonya juga menggunakan peci, Gusdur pun seorang Muslim”. Saya berpikir begitu..
Ternyata, Gusdur pernah menghilangkan undang-undang pada masa orde baru yaitu larangan penyelenggaraan segala kegiatan bagi adat istiadat kaum Tionhoa di Indonesia.

Luar biasa ya..  Gusdur merupakan pelopor rasa toleransi Indonesia. Beliau menerapkan sila – sila pancasila dalam kehidupan nyata, ia sama sekali tidak membatasi orang berdasarkan rasa tau kepercayaanya, ia malah memberikan hak bagi mereka untuk memeluk kepercayaanya (agama yang diakui di Indonesia). Ia membela mereka meskipun ia adalah seorang muslim. Sejak saat itulah Hari Raya imlek (tahun baru Cina) bisa dirayakan dan di resmi diliburkan hingga sekarang. Wah, salut ya sama Gus Dur, tak heran jasanya selalu dikenang dan diberi penghargaan sedemikian rupa hingga fotonya ada di ruang utama Klenteng Boen Bio. #PROUD. 

Kekurangan dari Klenteng Boen Bio adalah tidak adanya lahan parkir yang tersedia sama sekali yang membuat kondisi jalan raya di sekitar sana semakin ramai, kemarin saja saat saya kesana yang bukan hari libur, cukup ramai pengunjung.. Apalagi kalau di hari libur atau ada perayaan khusus, pasti akan lebih berpengaruh ke jalan raya dan pengunjung akan sangat susah memarkirkan kendaraanya bagi yang membawa. Kemarin saya mencari parkir butuh waktu sekitar 15 menit hehehe coba bayangkan jika Klenteng tersebut sedang ramai – ramainya, butuh berapa lama untuk mencari parkir?
Selain itu saat saya mengunjungi Klenteng tersebut, awalnya kondisinya seperti Klenteng yang tutup. Saya sampai harus bertanya-tanya kepada warga sekitar apakah Klenteng ini buka atau tutup. Ada pengunjung lain yang bingung dan mencoba menghubungi (menelpon) orang Klenteng yg ia kenal dan memastikan apakah Klenteng ini buka atau tidak.
Jadi kami harus menunggu sekitar 15 menit didepan gerbang Klenteng tersebut.

Selebihnya, Klenteng Konghucu yang bersejarah ini sangat luar biasa. 
Saya sangat suka design dan suasananya dan makna-makna yang di miliki Klenteng ini beserta isinya.


Kesan saya setelah melakukan observasi ini sungguh luar biasa tentunya.. Sebelumnya saya tidak pernah ke klenteng sama sekali, kalau pernah pun mungkin hanya sebatas lewat. Jujur dulu saya tidak ada rasa keingintahuan sama sekali, namun dengan observasi ini saya jadi tahu banyak hal. Contohnya bagaimana warga keturunan Tionghua “survive” untuk mempertahankan agama dan kepercayaan mereka di Indonesia, yang menambah rasa toleransi saya dan membuat saya lebih menghargai perbedaan. Karena saya, anda, kita adalah INDONESIA :)